Kamis, 28 April 2011

Apa Ini Aku? (Dilema)

Tanda-tanda kehidupan merasuk tubuh. Detak jantung bak alunan tabuh. Darah mengalir deras hingga ubun-ubun. Seberkas cahaya menyentuh lembaran baru.
Aku terbangun dari pingsan. Masih kuingat pagi yang suram ini. Ayah dan ibu bertengkar lagi. Nafsu makanku hilang. Ditambah upacara, kepalaku jadi pusing. Tak mampu kupertahankan diri.
“Tadi sudah makan dek?”sayup-sayup suara lembut kak Dea, kakak kelasku, ketua PIKRR.
“Belum, tapi nanti saya makan sih Kak.” Kuperhatikan sekelilingku. Serba putih. Banyak obat-obatan. Tenang dan damai. Ini pertama kalinya aku terbaring di UKS.
“Jangan ditunda-tunda.”
“Iya Kak, saya balik ke kelas dulu ya Kak. Makasih Kak.” Segera ku beranjak menuju kelas.
Seperti biasa, sebelum guru masuk suasana di kelas begitu gaduh. Ada yang bergosip, nyanyi-nyanyi, memainkan gitar, memainkan laptop, memainkan hp, dan mengerjakan PR. Bahkan ada beberapa yang belum masuk kelas. Mereka nongkrong di kantin.
“Eh Rei, baru aja kita mau ke UKS”, Diva, Era, dan Lana mendekatiku. Mereka memang yang paling peduli sama aku.
Belum selesai mereka menyerbuku dengan beribu pertanyaan seputar pingsan, Pak Heru sang guru killer memasuki kelas. Tiba-tiba aku merasa malas seklali. Akhir-akhir ini aku memang tak berminat belajar. Tak bisa kupusatkan konsentrasiku pada pelajaran.
Sementara itu, di rumah ayah dan ibu selalu bertengkar. Mereka bertengkar gara-gara ayah merasa tidak dihargai oleh keluarga ibu, begitu pun sebaliknya. Adik-adikku, Dara dan Iva begitu ketakutan. Aku kasihan dengan mereka. Sayang, aku bukanlah orang yang mampu mengungkapkan perasaanku. Ingin kupeluk mereka dan kukatakan:
Dara, Iva, jangan takut yah. Ayah sama Ibu nggak akan bertengkar lama-lama. Mereka cuma lagi pusing. Mereka cuma mau numpahin perasaan mereka. Kalian tenang aja, semuanya pasti akan membaik.
Tapi aku hanya bisa bersikap seolah-olah tak ada masalah. Aku ingin mereka pun seperti itu. Tak ada masalah yang perlu dikhawatirkan. Tak ada!
“mungkin aku tidaklah sempurna..”, sebaris lagu ‘Tak Bisa Memiliki’nya Samsons berdering di hp mungilku. Ada pesan masuk dari kak Vino.
Lagi ngapain Rei?
Hmm, aku semakin dekat sama kak Vino. Selain sering ketemu di klub bahasa Spanyol, kak Vino juga sering SMS aku. Dia tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Banyak hal yang dia ceritakan. Dia memang menyenangkan. Sekalipun terkadang juga menyebalkan. Terkadang ia terlihat sombong dengan cara bicara juga ketenarannya. Tapi aku merasakan perasaan yang beda. Mungkin aku suka sama kak Vino.
Sebulan telah berlalu, ayah dan Ibu bertengkar hebat. Mereka menyebut-nyebut kata cerai. Aku dan adik-adikku berkumpul di kamarku. Dara menangis. Iva pun ikut menangis. Aku hanya bisa terdiam mematung. Pandanganku kosong. Lidahku kelu. Hatiku hancur. Aku tak mungkin menangis. Aku tak ingin mereka melihatku rapuh.
“Yang mau ikut Ibu, rapihkan baju kalian!” Ibu membanting pintu kamarku. Matanya merah. Tersirat jiwa yang lelah.
Adik-adikku segera mengemasi pakaian. Mereka memilih ikut bersama ibu. Aku tak punya pilihan. Tak mungkin kutinggalkan ayah sendiri. Beliau pasti membutuhkan seorang anaknya. Ibu memelukku dan benar-benar pergi. Kulihat Ibu dan adik-adikku semakin menjauh. Air mataku tak terbendung lagi. Aku menangis. Aku tak mengerti kenapa mereka berpisah? Apakah masalah keluarga itu begitu besar? Lalu apa artinya aku dan adik-adikku? Apa kami tak cukup berharga untuk dipertahankan? Apa artinya aku ini? Apa artinya nama ku itu? Reinannisa Mulki Nurlaili, Wanita Kerajaan Cahaya Malam? Penerang dalam kegelapan? Kenapa aku tak bisa jadi seperti nama ku? Kenapa aku tak bisa menjadi penerang dalam masalah ini? Ya Allah…
“Reina, kamu ikut lomba baca puisi yah minggu depan”, seorang guru Bahasa menawarkanku. Di sekolah, aku tergolong murid yang pintar. Aku selalu masuk lima besar dan aku sering diikutkan lomba-lomba. Teman-teman pun segan denganku.
Awalnya ingin kutolak saja tawaran itu. Tapi kupikir, dengan lomba ini mungkin aku dapat menunjukkan kalau anak broken home juga masih bisa berprestasi. Kuputuskan mengikuti lomba ini.
“Iya Bu, saya ikut”.
Di sisi lain, kak Vino menyatakan perasaannya padaku. Ia memintaku menjadi pacarnya.
“Rei, aku suka sama kamu, sudah dari dulu aku suka sama kamu. Aku harap kamu mau jadi pacarku. Te quiero. ¿le gustarĂ­a ser mi novia?”* Dag dig dug. Jantungku berdegup kencang. Di depan hamparan guguran daun, bunga, dan buah pohon yang entah apa namanya itu, kak Vino, sosok yang aku kagumi, menembakku.
Tapi hatiku ragu. Aku tak tahu kenapa. Hatiku gundah gelisah. Rasa takut terlintas di hatiku. Tak mungkin aku pacaran dengan kak Vino yang terkenal. Aku nggak pantas buat dia. Aku hanya bisa bilang nggak. Aku belum yakin dengan perasaanku.
 “Maaf Kak, saya nggak bisa. Saya pergi dulu”. Aku menolaknya. Aku meninggalkannya. Ia memandangku pergi.
Sejak kejadian itu, aku tak nyaman lagi di dekat kak Vino. Ia tak pernah SMS aku lagi. Bicara di klub pun sudah jarang. Aku berusaha menghindarinya. Aku tak enak hati. Apa aku salah?
Hubunganku dan ayah juga merenggang. Aku terlalu sibuk dengan kegiatan sekolah. Aku pun tak sempat menjenguk ibu dan adik-adikku di rumah nenek. Aku rindu dengan mereka semua. Keluargaku yang dulu.
Lomba puisi sudah tiba. Persiapanku belum matang. Terlalu banyak tugas membuatku sering tak sempat latihan puisi. Aku terlalu lalai. Dan akibatnya aku gagal. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Guru-guru dan teman-teman mempertanyakan kenapa aku gagal.
“Rei, kok bisa kalah sih? Rei, gimana hasilnya? Katanya kamu nggak juara? Emang lombanya gimana? Kok bisa nggak menang? Rei…?? Rei..? Rei…? Rei…?” Aku benci. Aku benci pertanyaan-pertanyaan itu.
Konsentrasiku semakin hancur. Tak ada materi pelajaran yang kumengerti. Nilai-nilaiku rusak. Semua terheran-heran melihat nilaiku. Apa aku berubah? Apa aku semakin memburuk? Inikah aku?
“Va, aku nyontek PR mu aja yah. Dari kemarin PR ku salah terus”, pintaku pada Diva.
“Iyah, lihat aja”. Alhamdulillah Diva mau memberiku contekan.
Aku masih menyalin PR Diva. Satu per satu temen-temen yang lain mengerubungiku.  Mereka meminta PR ku. Kupandangi mereka. Hatiku sakit. Aku kesal.
“ARKGH..!!! KALIAN BISA NYA MINTA PR AJA! INI BUKAN PR KU! KENAPA KALIAN MASIH MINTA SAMA AKU? NILAIKU JELEK! AKU BUKAN ORANG PINTAR! AKU CAPEK! AKU CAPEK BANTU KALIAN! KALIAN NGGAK MAU USAHA! KALIAN JAHAT!!”. Amarahku meluap. Ku bentak mereka semua. Ku tinggalkan kelas. Air mataku mengalir.
Angin berhembus hingga celah-celah jilbabku. Rasanya ribuan atom-atom dendam, marah, dan benci memenuhi hatiku. Jiwaku seperti terperangkap dalam hidupku sendiri. Apa yang terjadi padaku?
“Rei, kamu kenapa? Cerita ya sama kita-kita?” Diva, Era, dan Lana menghampiriku. Kita duduk di teras perpustakaan.
“Aku juga bingung. Aku nggak tahu. Aku pusing. Aku marah, sakit, benci. Aku bosan”. Ku usap air mataku dan ku ungkapkan semua perasaanku.
“Rei, semua orang juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi kamu harus ingat, kamu nggak sendiri Rei. Masih ada kita. Aku, Lana, Era, teman-teman yang lainnya juga. Kita semua saudara Rei. Kita sayang sama kamu”.
“Iya Rei, nggak usah sedih-sedihan. Kamu sedihnya kenapa sih? Tapi kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa kok”, tambah Era.
“Sorry Ra, aku nggak bisa cerita”. Aku memang nggak mau menceritakan masalah ini. Aku yakin mereka paham dengan apa yang aku rasakan. Aku tak terbiasa bercerita tentang masalah-masalah seperti ini.
“Kalau ku pikir-pikir ya, mungkin kamu lagi dilema. Kayak lagunya Intan Nuraini. Tapi aku butuh cinta, aku jadi dilema…”. Lana bernyanyi ala seriosa. Hmm..
Dilema. Yah aku sedang dilema.  Aku capek dengan diriku sendiri. Aku bingung dengan jati diriku. Aku marah dengan nasibku. Inilah dilemaku.
Berhari-hari ku merenung. Ribuan lagu menemaniku. Dan hatiku beku mendengar lirik lagu Bro-Diriku Menggila. Mungkinkah aku menggila?
Saat ini aku berjalan di dalam kegelapan.. Namun ku hanya manusia biasa… Titian hidupku berlapis untai… Yang kurasa semua takkan ada habisnya… Diriku menggila
Aku masih termenung. Lirik lagu Diary Depresiku-Last Child menyentuh kalbu ku. Apa lagu ini untukku?
Wajar bila saat ini ku iri pada kalian.. Yang hidup bahagia dalam suasana indah dalam rumah… Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam.. Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan…
Dilanjutkan dengan lagu Hidupmu Indah. Aku semakin tersadar.
Hidupmu indah bila kau tahu.. Jalan mana yang benar… Harapan ada.. Harapan ada… Bila kau percaya…
Yah, hidupku indah. Kenapa aku jadi kacau? Hidupku terlalu indah. Bodohnya aku. Reina..Reina.. Masalah datang bukan untuk kamu hindari, masalah itu anugerah Rei. Masalah memberimu pengalaman, memberimu pelajaran, dan menjadikanmu sosok yang lebih baik. Jangan pernah berpikir kalau kamu yang paling sengsara. Masih ada yang lebih membutuhkan di bawah kamu. Kamu masih beruntung Reina. Ku ingatkan diriku sendiri. Aku harus menyelesaikan masalah ini satu per satu.
Kutemui ibu dan adik-adikku di rumah nenek. Mereka semua senang di sana. Tak ada tangisan, hanya senyuman. Begitu pula denganku dan ayah. Hubungan kita yang sempat merenggang sudah menjadi lebih baik.
Aku mulai memfokuskan diri untuk belajar. Aku kembali seperti Reina yang dulu. Nilai-nilaiku membaik. Teman-temanku juga jadi lebih memahamiku.
Aku menemui kak Vino. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku nggak mau kak Vino menjauh. Aku nggak mau ada masalah antara aku dan kak Vino.
“Kak, maafin sikap saya selama ini. Saya nggak berniat apa-apa. Saya cuma lagi pusing dengan masalah-masalah yang saya hadapi.”
“Memangnya ada masalah apa, Rei?” Ia masih perhatian padaku.
“Bukan apa-apa kok, Kak”.
“Oo, saya boleh nanya sedikit?”
“Boleh lah Kak. Emang ada apa?”
“Masih ada nggak kesempatan buat saya?” Sssrr... hatiku mendesir.
“Jujur, saya pernah suka sama kakak. Tapi maaf Kak, saya nggak bisa. Lagi pula kakak kan udah kelas 3. Lebih baik kakak konsentrasi belajar aja dulu. Saya juga mau konsentrasi belajar. Masih banyak yang ingin saya capai Kak.” Inilah keputusan yang terbaik. Aku tidak membohongi perasaan ku sendiri. Aku hanya mencoba lebih bijak. Aku masih ingin menikmati masa-masa ini, perasaan seperti ini. Maafkan aku, Kak.
Kak Vino tersenyum. Aku senang melihatnya tersenyum. Aku suka ekspresinya. Aku suka dia. Ini akan selalu ku kenang. 
Akhirnya kusadari, aku terlalu banyak mempertanyakan diriku sendiri. Aku marah akan ketidakmampuanku, kebodohanku, masalah-masalah yang menimpaku. Harusnya aku bisa berpikir jernih dan positif, bukan malah terjebak dalam dilemaku sendiri. Tak ada lagi yang perlu kupertanyakan. Aku tetap aku. Memiliki sisi baik dan buruk, itulah aku. Aku gadis berjilbab bernama Reinannisa Mulki Nurlaili, Reina Sang Putri Kerajaan Cahaya Malam. Penerang dalam kegelapan. :)

*Te quiero. ¿le gustarĂ­a ser mi novia?: Aku cinta kamu. Maukah kamu jadi pacarku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Words of Wisdom

Gravitasi tidak bertanggung-jawab atas orang yang jatuh cinta

Barangsiapa yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka dia tidak pernah mencoba sesuatu yang baru

Jika A sama dengan kesuksesan, maka rumusnya adalah A=X+Y+Z. X adalah kerja, Y adalah bermain, Z adalah menjaga mulut agar tetap bungkam


By Albert Einstein
source: Words of Wisdom - Einstein